Skip to main content

Mengukur Efektivitas dan Dampak Pelatihan


Kita tentunya sudah mengenal istilah manajemen kinerja, namun sayangnya konsep manajemen kinerja yang begitu luas seringkali disalahartikan dan dipersempit hanya dengan penilaian kinerja (performance review/ appraisal).


Padahal penilaian kinerja hanya bagian kecil dari sistem manajemen kinerja. Jauh daripada itu, suatu sistem manajemen kinerja akan memastikan karyawan suatu perusahaan akan memiliki kompetensi yang mumpuni untuk melakukan pekerjaannya dan menghasilkan kinerja yang optimal. Untuk itu, ada beberapa metode yang dapat dilakukan, antara lain coaching, counseling, mentoring, ataupun pelatihan. Saya sependapat dengan Armstrong and Baron (2005) yang menyatakan bahwa salah satu kunci kesuksesan sebuah organisasi adalah dengan mengembangkan kemampuan individu karyawan ataupun timnya. 


Maka sekarang telah jelas bahwa pelatihan adalah salah satu metode pengembangan kompetensi yang dapat meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi, namun tentunya selama pelatihan tersebut didasarkan pada analisa kebutuhan pelatihan (training needs analysis) yang selaras dengan strategi dan kebutuhan organisasi.

Untuk memastikan apakah pelatihan memiliki dampak bagi organisasi, umumnya dipakai model evaluasi pelatihan Kirkpatrick.

Model evaluasi  pelatihan Kirkpatrick (1959) membagi evaluasi pelatihan menjadi 4 (empat) level, yaitu:

a. Level 1  :Reaction
Banyak provider/ vendor jasa pelatihan menyebutnya sebagai training feedback. Evaluasi pada level ini akan menggambarkan presepsi kepuasan peserta pelatihan terhadap penyelenggaraan pelatihan. Biasanya diukur dengan menggunakan formulir khusus. Kunci sukses untuk mendapatkan rating yang baik adalah dengan memilih trainer yang capable, komunikatif, dan lingkungan training yang mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran.

b. Level 2  : Learning/ Relevancy
Level ini akan mengukur perubahan pengetahuan peserta pelatihan sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Umumnya diukur dengan menggunakan pre test dan post test. Kunci sukses agar peserta mendapatkan learning gain yang tinggi adalah dengan membebastugaskan peserta pelatihan dari pekerjaannya selama mengikuti pelatihan. Beberapa leader biasanya masih ”merepotkan” karyawannya yang sedang mengikuti training dengan email, telpon, dan tugas-tugas lainnya yang justru membuat proses knowledge transfer dalam pelatihan tidak efektif.

 
c. Level 3  : Behaviour Change/ Performance
Level ini akan mengevaluasi perubahan perilaku peserta pelatihan sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Harapannya adalah agar karyawan dapat mengaplikasikan apa yang ia pelajari dalam pelatihan ke dalam pekerjaan. Umumnya evaluasi ini dilakukan 3 - 6 bulan setelah pelaksanaan pelatihan dengan metode observasi dan analisa data produktivitas individu karyawan. Kunci sukses untuk terciptanya perubahan perilaku pasca pelatihan adalah kesempatan. Tidak mungkin tercipta perubahan perilaku jika karyawan tidak diberikan kesempatan untuk “trial & error” dalam mengimplementasikan apa yang ia pelajari dalam pelatihan. Leader akan menjadi mentor dan coach dalam implementasi knowledge yang didapat dari pelatihan.

c. Level 4  : Organizational Result/ Business Impact
Merupakan level tertinggi yang akan mengukur manfaat pelatihan bagi organisasi. Level ini mengukur kaitan perubahan perilaku pekerjaan individu atau tim kepada kinerja organisasi secara utuh. Metode yang biasa digunakan adalah dengan menganalisa data-data seperti, kualitas, efesiensi biaya, efektivitas proses, indeks kepuasan pelanggan maupun Return on Training Investment (ROTI). Namun Philips & Holton (1995) menempatkan ROTI sebagai Evaluasi Level 5. Sama seperti level 3, level 4 ini pun umumnya dilakukan 3 - 6 bulan setelah pelaksanaan pelatihan.

Semoga pelatihan yang kita selenggarakan dan berikan kepada karyawan dapat menjadi investasi terarah yang memastikan peningkatan kompetensi, kinerja karyawan, dan berdampak bagi kinerja perusahaan pula. Selamat mencoba!


Surabaya, 7 Maret 2017

Eka Junis Setyawan

Comments

Popular posts from this blog

VUCA - Leadership Challenges

Dunia terus berubah, begitu pula dunia bisnis. Dunia bisnis kini dihadapkan pada tantangan ketidakpastian, tantangan nyata yang kita sebut VUCA ( Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity ), dimana lingkungan bisnis menjadi sangat   uncomfortable. Hal ini dibuktikan dengan lebih dari 50% perusahaan Fortune 500 tidak lagi exist sejak tahun 2000 (Capgemini Consulting, 2014). VUCA is real!   Inggris keluar dari tatanan ekonomi Uni Eropa, Amerika menerapkan kebijakan ekonomi portektifnya. Arus uang beralih dari barat ke timur, dari Amerika/ Eropa ke Asia. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, VUCA adalah “ the new normal ” yang harus kita terima. Lalu, siapkah HR Dept. menghadapi VUCA dalam rangka mendukung bisnis organisasi? Jawaban tentu harus selalu siap. Namun apa yang sebenarnya menjadi tantangan utama HR dalam era VUCA ini?  Setidaknya, menurut saya ada beberapa hal yang menjadi tantangan utama HR Dept., antara lain: ...

Coaching - Bukan Penghukuman

Coaching, mungkin kita sudah sangat sering mendengar kata tersebut. Sebagai leader , konon kita dituntut untuk melakukan coaching bagi tim kita. Pernah saya mendengar kalimat seperti ini, “ coaching itu harusnya dilaksanakan oleh supervisor , kalau sudah sampai manager , sudah parah masalahnya.” Dalam berbagai diskusi-diskusi ringan seringkali juga muncul kesimpulan bahwa coaching diperuntukan hanya untuk "anak-anak bandel" yang butuh sentuhan "guru BP". Karena kesan coaching sebagai ritual bagi karyawan-karyawan bermasalah itulah muncul malu, atau bahkan rasa takut saat seseorang di- coach oleh atasannya. Saya pernah melihat hal seperti ini saat saya terlibat dalam proses pengembangan kompetensi agen sebuah contact center . Beberapa kalimat yang sering saya dengar saat itu seperti, "duh, gue salah nih.. jadi deh kena coaching ", atau kalimay lain seperti, "itu, dipanggil aja.. biar di- coaching sama ibu (sebut aja mawar 😃😃)", atau ...