Coaching, mungkin kita sudah sangat sering mendengar kata
tersebut. Sebagai leader, konon kita dituntut untuk melakukan coaching bagi tim kita.
Pernah saya mendengar kalimat seperti ini, “coaching itu harusnya dilaksanakan
oleh supervisor, kalau sudah sampai manager, sudah parah masalahnya.” Dalam berbagai diskusi-diskusi ringan seringkali juga muncul kesimpulan bahwa coaching diperuntukan hanya untuk "anak-anak bandel" yang butuh sentuhan "guru BP".
Karena kesan coaching sebagai ritual bagi karyawan-karyawan bermasalah itulah muncul malu, atau bahkan rasa takut saat seseorang di-coach oleh atasannya. Saya pernah melihat hal seperti ini saat saya terlibat dalam proses pengembangan kompetensi agen sebuah contact center. Beberapa kalimat yang sering saya dengar saat itu seperti, "duh, gue salah nih.. jadi deh kena coaching", atau kalimay lain seperti, "itu, dipanggil aja.. biar di-coaching sama ibu (sebut aja mawar 😃😃)", atau "susah mas, udah di-coaching, ditegur, masih aja gitu".
Coaching juga sering didefinisikan dengan mengarahkan, mengajarkan, memberitahu, dan sebagainya. Tapi, benarkah demikian?
Karena kesan coaching sebagai ritual bagi karyawan-karyawan bermasalah itulah muncul malu, atau bahkan rasa takut saat seseorang di-coach oleh atasannya. Saya pernah melihat hal seperti ini saat saya terlibat dalam proses pengembangan kompetensi agen sebuah contact center. Beberapa kalimat yang sering saya dengar saat itu seperti, "duh, gue salah nih.. jadi deh kena coaching", atau kalimay lain seperti, "itu, dipanggil aja.. biar di-coaching sama ibu (sebut aja mawar 😃😃)", atau "susah mas, udah di-coaching, ditegur, masih aja gitu".
Coaching juga sering didefinisikan dengan mengarahkan, mengajarkan, memberitahu, dan sebagainya. Tapi, benarkah demikian?
ICF (International Coaching Federation) mendefinisikan coaching sebagai berikut:
“Coaching is partnering with clients in a thought-provoking and creative process that inspires them to maximize their personal and professional potential.”
Coaching adalah sebuah bentuk kemitraan dengan klien dalam rangka memprovokasi pikiran dan memancing kreativitas klien yang menginspirasi dan memaksimalkan potensi pribadi maupun professional.
Dalam prakteknya, proses kemitraan antara coach dan coachee berlangsung dengan sangat harmonis, tidak menekan dan tidak menempatkan sesorang pada bangku seorang terdakwa, sekalipun yang dilakukan adalah feedback coaching. Hal ini terjadi karena coaching berfokus pada masa kini dan masa depan, bukan masa lalu.
Proses provokasi pikiran dilakukan melalui proses tanya-jawab pertanyaan terbuka dengan coachee. Pertanyaan-pertanyaan terbuka inilah yang akan membantu coachee menemukan potensi tersembunyi dirinya yang mungkin belum pernah dia sadari sebelumnya.
Dari definisi ICF tersebut, maka jelas, mitos bahwa coaching hanya untuk karyawan bermasalah tidaklah tepat. Coaching juga bukan soal memberitahu atau mengarahkan, coaching adalah soal bertanya dan bermitra. Melalui proses tanya jawab, "benang kusut" yang ada dalam benak coachee pelahan mulai terurai. Setiap orang, siapapun mereka, bermasalah atau tidak, akan selalu butuh teman berpikir untuk memaksimalkan potensi mereka.
Coaching, dari coachee dan untuk coachee.
Lalu, bagaimana detail proses coaching dilaksanakan? Kita bahas pada artikel selanjutnya ya.. J
Jakarta, 14 Juli 2017
Eka Junis Setyawan
Comments
Post a Comment